Dua setengah tahun and counting, harusnya sih, harusnya udah lagi nulis Bachelor Thesis saat ini. Tapi apa daya realita berkata lain. Yah sekarang sedang berjuang kok menuju ke sana. Mungkin semua juga sudah maklum, yang kuliah di Jerman ga kelar-kelar. Dan mungkin banyak yang bertanya, kenapa sih?
Hmm mau mulai dari mana ya.
Banyak aspek yang bikin manusia macam kita ini kuliahnya lama. Mainly sih karena kita melakukannya bertahap dan pelan-pelan. Di sini menjadi mahasiswa abadi bukanlah sebuah aib. Ga jarang kita satu kelas dengan yang semesternya sudah lebih dari seharusnya. Semua take it slow di sini. Ngikutin pace masing-masing aja dalam memahami sesuatu. Dan masa perkuliahan di sini itu dijadikan waktu mencari semacam jati diri seseorang. Mereka kebanyakan ketika kuliah banyak mencoba ini itu untuk mencari sebenarnya dalam hidup itu kita passionnya apa, concern nya kemana dan tujuannya apa ketika sudah lulus. Begitu juga dengan kita, mahasiswa Indonesia, kita take it slowly, tapi biasanya alasannya adalah, ujiannya susah, takut ga lulus, jadi satu semester ngambil dikit aja deh. Biar dipersiapkan dengan maksimal dan bisa lulus. Atau kalau case kaya gue, yang ga ada ujian tapi harus nulis beribu paper. Sejujurnya, gue ga sanggup kalau harus nulis lebih dari dua paper per semester. Sementara satu semester gue harus nulis minimal 3 paper. Ya kembali lagi, memahami sesuatu atau menghasilkan tulisan dalam bahasa asing itu merupakan challenge tersendiri. Apalagi bahasanya Jerman. huft.
Aktivitas lain juga kadang menyita waktu dan konsentrasi. At least buat gue. Dulu pas baru masuk kuliah, gue jadi panitia sebuah acara konferensi yang lumayan besar. Alhasil ya gue harus membagi waktu gue untuk mengerjakan tugas dan mempersiapkan si konferensi itu. Selang beberapa bulan setelah konferensi itu sukses digelar, gue diminta jadi pengurus PPI Hamburg. Karena itu gue sering rapat ini itu, plus PPI Hamburg juga memutuskan untuk mengadakan hajat terbesarnya, sebuah pentas amal dengan judul Sounds of Indonesia. Jadilah lebih sibuk untuk mempersiapkan pentas ini.
So, the preparation and aftermath konferensi itu berlangsung selama 3 bulan di semester pertama. Next, jadi pengurus PPI satu periode, which selama semester 1, semester 2 dan awal semester 3. Setelah itu semester 3 mulai coba kerja part time.
NAH, ini juga aktivitas yang kadang lebih diutamakan dari ngampus. Kerja. Yes, most of us di sini bekerja part time. Ada yang untuk bertahan hidup, ada yang untuk jalan-jalan atau nongki cantik. Tapi hampir semua dari kita bekerja paruh waktu. Mahasiswa di sini bisa kerja paruh waktu dan yang lebih menyenangka, selain dari banyaknya peluang kerja, adalah potongan pajak yang tidak besar. Kerja paruh waktu di Jerman sangat worth it. Seberapa waktu dan tenaga yang keluar itu berbanding dengan gaji yang kita dapatkan. Jadi biasanya kita akan menyisakan waktu sehari atau dua dalam seminggu untuk bekerja.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir. Everything fits perfectly. Ya ga sih? Gue yang ga mampu mengambil mata kuliah banyak-banyak, jadi punya waktu free, yang gue isi dengan mencari sesuap cheesecake atau pergi ke rapat mempersiapkan ini itu. Well, masing-masing tau porsinya. Lagian hidup di Jerman kalau hanya rumah-kampus-perpus-rumah itu bisa membuat kita depresi. Jadi lebih baik rute itu dikembangkan sedikit agar lebih bervariasi. Yang penting kita tau tanggung jawab kita apa.
So, yes. Gue belum kelar juga, dan kemungkinan masih akan menyandang status mahasiswa dua tahun kedepan. Doain aja ya agar segera lulus. Aamiin..
Kuliah di Jerman ohne Ende?
Nope, insyaaAllah ada waktunya selesai...
Semester kedua, keadaan belum berubah. Masih pengen nangis.
Belajar ilmu sosial di Jerman itu subhanallah sekali loh. Berbeda dengan jurusan yang lain, jurusan ilmu sosial itu jarang ujian. Sebagai gantinya, kita harus submit essays mulai dari yang 3-5 halaman sampai yang 10-15 halaman. Selain itu kelas-kelas dipenuhi dengan diskusi dan tukar pikiran. At first, I thought that's really nice. I love discussion! apalagi membahas keadaan sosial dan pendidikan saat ini. Tapi ternyata, mengemukakan pendapat dengan bahasa lain (read: Jerman) itu susah.
Model belajar kita di kampus, bukan hanya mendengarkan dosen cerita di depan kelas. Tapi kita juga aktif mencari input dengan membaca teks wajib pemberian si dosen. Lalu setelah itu kita harus merangkum dan mendiskusikan isi teks tersebut di kelas.
Untuk memahami isi teks, alhamdulillahnya tidak ada masalah. Namun karena keterbatasan bahasa, cara kita menyampaikannya kembali yang tergolong sulit. Well, I believe mereka paham dengan apa yang gue utarakan. Tapi dari diri gue sendiri yang selalu ga puas. "What I want to say is more than that"," Mereka pasti ga nangkep sesuai dengan ekspektasi gue". And it's frustrating. Karena suara-suara itu, I choose to be silent. And I hate it.
Tapi nyatanya, berdamai dengan keresahan tidak mudah. Well, still here watching them disscusing lots of interesting things.
I hope I can cope with this problem soon, real soon. When I did, I will definitely tell you how.
Ini halal ga ya?
Topik halal atau tidak ini sangat dan selalu populer dibicarakan dimana-mana. Apalagi di sini, di belahan bumi barat yang muslim nya minoritas. Setiap kali mau beli makanan, ini halal ga ya?. Alhamdulillahnya di Jerman banyak toko Turki yang jual daging halal. Bukan hanya daging, tapi sosis, salami, keju bahkan snack-snack sampai permen-permen berlabel halal pun ada. Tapi, tidak semua ada di toko Turki. Beberapa kita harus beli di supermarket lokal. The best thing we can do, kalau produk nya emang cuma dijual di supermarket lokal adalah melihat ingredient/komposisi/zutaten si produk tersebut. Biasanya, kalau komposisi nya tidak mengandung E470 keatas, menggunakan Soy Lecithin dan tidak ada gelatin nya inshaallah itu aman untuk dimakan.
Malaysia adalah the best place in the world for Halal food. Especially Kuala Lumpur. Di KL atau tempat-tempat lain di Malaysia, Halal atau tidaknya sangat jelas. Bahkan dipasar-pasar pun, si penjual ayam atau daging memiliki sertifikat Halal yang jelas. Kalau di Malaysia yang mengeluarkan label halal adalah JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia). Di Malaysia, Halal atau tidak nya sebuah produk, restaurant atau coffee shop itu sangat jelas. Setiap restaurant/coffee shop, mereka diwajibkan memasang sertifikat halalnya. Selain itu, jika sebuah restaurant memang menjual pork atau menggunakan lard mereka akan memberi sign bertuliskan non-halal di restaurant mereka. That is why it is easy to see apakah restaurant ini halal atau tidak. Dan untuk mendapatkan sertifikat halal dari JAKIM itu tidak mudah, karna prosedur nya sangat detail. Sekali ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan term of Halal di Islam, mereka tidak akan mendapatkan sertifikat halal tersebut. Jadi sertifikat halal JAKIM itu sangat terpercaya. That is why Malaysia is the safest place to eat.
Lalu bagaimana Indonesia?
Indonesia justru harus dipertanyakan makanan nya. Selama ini kita menganggap bahwa mayoritas makanan di Indonesia adalah halal. Padahal belum tentu, bahkan di pasar pun kita tidak tahu apakah ayam potongan itu disembelih sesuai dengan ajaran islam. Di restoran juga kita menerapkan asumsi yang sama, We believe that the restaurant is halal even they do not have any certificate. Ironisnya, Indonesia adalah negera dengan jumlah penduduk muslim terbesar didunia. Tapi kenapa kehalalan sebuah produk masih tidak jelas? Berasumsi bahwa semua daging di Indonesia adalah halal karena mayoritasnya penduduk Indonesia adalah muslim itu tidak salah. Tapi alangkah baiknya jika setiap restaurant atau slaughter house punya sertifikat halal. Tidak ada ruginya, inshaallah lebih berkah dan untung. Konsumen pun akan lebih tenang dalam berbelanja.
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS 2:168)