Pasrah

2:13 PM

Tulisan ini bukan sebuah curahan hati atau another halaman di buku diary. Ini kisah seseorang yang memilih untuk pasrah. Seperti yang kita tahu, kita diharuskan berusaha, berdo'a dan setelah itu baru pasrah/tawakkal. Dia yang telah melewati berbagai lika-liku kehidupan akhirnya memilih untuk pasrah. Selama hampir dua tahun hidupnya selalu membelakangi realita. Mungkin dia menjalani kehidupan sesuai realita, tapi dalam hatinya masih percaya bahwa ini bukan kehidupannya. Dia masih dengan angan-angannya yang mungkin kita bisa bilang sedikit 'maksa'. Selama hampir dua tahun itu lah dia selalu bersedih, depressed dan suffering. Dan pada akhirnya dia memutuskan untuk pasrah. Dia menyerahkan segalanya kepada Allah s.w.t. Kenapa? Alasannya hanya satu. Dia ingin bernafas kembali.

Selama hampir dua tahun itu dia hidup dengan menentang keputusan-Nya. Buatnya tuhan itu tidak adil. Setiap harinya hanya diisi dengan meratapi hidupnya yang tidak sesuai angan-angan dan cita-citanya. Entah sudah berapa ribu kali kata "What If" dan "Seharusnya kan" diucapkan. Semakin dia melihat sekeliling semakin dia membeci kehidupannya yang sekarang. Tapi semua itu berubah. Cukup dengan waktu 2 bulan, dia bisa merelakan segalanya. Dan dia merasa bisa bernafas kembali. Dia sudah tidak lagi bertahan dengan angan-angannya yang mungkin memang bukan jalannya atau belum saatnya terjadi. Dia relakan semua yang dia inginkan di kehidupan ini. Dia hanya ingin menjalani kehidupan seperti yang ada. Dia memilih untuk menerima kenyataan. Prinsip hidupnya sekarang adalah berusaha, berdo'a dan tawakkal.

Dan kepada Allah saja hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Al-Ma’idah: 23)

Berlabuh

9:30 PM

Pernah suatu masa, sang Nahkoda tersenyum gembira. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ya, sebuah pulau! Sang Nahkoda menyuruh awak kapal untuk segera bersiap menuju ke Pulau tersebut, untuk berlabuh. Dikira sang Nahkoda, di sana lah dia akan mengakhiri hidupnya. Di Pulau yang tak terjamah itu. Pikirnya, daripada terus berlayar tidak tentu arah, lebih baik berlabuh dan membangun kehidupan di Pulau itu. Gejolak ombak menerpa kapal berkali-kali. Namun pada sang Nahkoda tidak terbesit sedikit pun rasa khawatir. Dia percaya bahwa kapalnya kokoh dan tangguh. Dilihatnya sendiri kapal itu dibuat dari kayu dan besi pilihan.

Tapi ternyata pulau itu tidak dekat. Meski dalam teropongnya terlihat jelas, perlu waktu untuk mencapainya. Badai yang mengamuk, ombak yang menggila dan awak kapal yang melemah dan mulai menyerah tidak mengurungkan niat sang Nahkoda untuk berlabuh, memijakkan kakinya di tanah. Hari demi hari telah berlalu. Kali ini sang Nahkoda mulai meragui keberadaan pulau itu. Terlalu lama untuk digapai, terlalu banyak rintangan. Apakah pulau itu hanya sebuah fatamorgana? Apakah aku bermimpi? sang Nahkoda bertanya pada dirinya. Awak kapal berkumpul, bersorak bukan gembira tapi ingin sang Nahkoda untuk mengurungkan niatnya. Dilihatnya lagi pulau itu melalui teropongnya. Masih ada, hanya saja mengecil dan semakin mengecil. Itu pulau yang ingin dituju, tapi setelah perhitungan bintang untuk menentukan arah, bukannya mendekat justru malah menjauh. Apakah langit tidak mengizinkanku berlabuh di sana?

Demi memutuskan ketidakpastian, sang Nahkoda berseru "Kita kembali berlayar, hingga benar-benar kita temukan pulau yang terbaik untuk berlabuh!". Pelayaran itu dimulai kembali. Masih dengan tujuan yang sama, untuk berlabuh. Tapi kali ini berlabuh di pulau yang pasti, dengan izin langit dan semesta.

Kapal dengan bendera berlambang hati itupun terus berlayar......