Jerman

Ngampus di Jerman: Ohne Ende

2:57 PM

Dua setengah tahun and counting, harusnya sih, harusnya udah lagi nulis Bachelor Thesis saat ini. Tapi apa daya realita berkata lain. Yah sekarang sedang berjuang kok menuju ke sana. Mungkin semua juga sudah maklum, yang kuliah di Jerman ga kelar-kelar. Dan mungkin banyak yang bertanya, kenapa sih?

Hmm mau mulai dari mana ya.

Banyak aspek yang bikin manusia macam kita ini kuliahnya lama. Mainly sih karena kita melakukannya bertahap dan pelan-pelan. Di sini menjadi mahasiswa abadi bukanlah sebuah aib. Ga jarang kita satu kelas dengan yang semesternya sudah lebih dari seharusnya. Semua take it slow di sini. Ngikutin pace masing-masing aja dalam memahami sesuatu. Dan masa perkuliahan di sini itu dijadikan waktu mencari semacam jati diri seseorang. Mereka kebanyakan ketika kuliah banyak mencoba ini itu untuk mencari sebenarnya dalam hidup itu kita passionnya apa, concern nya kemana dan tujuannya apa ketika sudah lulus. Begitu juga dengan kita, mahasiswa Indonesia, kita take it slowly, tapi biasanya alasannya adalah, ujiannya susah, takut ga lulus, jadi satu semester ngambil dikit aja deh. Biar dipersiapkan dengan maksimal dan bisa lulus. Atau kalau case kaya gue, yang ga ada ujian tapi harus nulis beribu paper. Sejujurnya, gue ga sanggup kalau harus nulis lebih dari dua paper per semester. Sementara satu semester gue harus nulis minimal 3 paper. Ya kembali lagi, memahami sesuatu atau menghasilkan tulisan dalam bahasa asing itu merupakan challenge tersendiri. Apalagi bahasanya Jerman. huft.


Aktivitas lain juga kadang menyita waktu dan konsentrasi. At least buat gue. Dulu pas baru masuk kuliah, gue jadi panitia sebuah acara konferensi yang lumayan besar. Alhasil ya gue harus membagi waktu gue untuk mengerjakan tugas dan mempersiapkan si konferensi itu. Selang beberapa bulan setelah konferensi itu sukses digelar, gue diminta jadi pengurus PPI Hamburg. Karena itu gue sering rapat ini itu, plus PPI Hamburg juga memutuskan untuk mengadakan hajat terbesarnya, sebuah pentas amal dengan judul Sounds of Indonesia. Jadilah lebih sibuk untuk mempersiapkan pentas ini.

So, the preparation and aftermath konferensi itu berlangsung selama 3 bulan di semester pertama. Next, jadi pengurus PPI satu periode, which selama semester 1, semester 2 dan awal semester 3. Setelah itu semester 3 mulai coba kerja part time.

NAH, ini juga aktivitas yang kadang lebih diutamakan dari ngampus. Kerja. Yes, most of us di sini bekerja part time. Ada yang untuk bertahan hidup, ada yang untuk jalan-jalan atau nongki cantik. Tapi hampir semua dari kita bekerja paruh waktu. Mahasiswa di sini bisa kerja paruh waktu dan yang lebih menyenangka, selain dari banyaknya peluang kerja, adalah potongan pajak yang tidak besar. Kerja paruh waktu di Jerman sangat worth it. Seberapa waktu dan tenaga yang keluar itu berbanding dengan gaji yang kita dapatkan. Jadi biasanya kita akan menyisakan waktu sehari atau dua dalam seminggu untuk bekerja.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir. Everything fits perfectly. Ya ga sih? Gue yang ga mampu mengambil mata kuliah banyak-banyak, jadi punya waktu free, yang gue isi dengan mencari sesuap cheesecake atau pergi ke rapat mempersiapkan ini itu. Well, masing-masing tau porsinya. Lagian hidup di Jerman kalau hanya rumah-kampus-perpus-rumah itu bisa membuat kita depresi. Jadi lebih baik rute itu dikembangkan sedikit agar lebih bervariasi. Yang penting kita tau tanggung jawab kita apa.

So, yes. Gue belum kelar juga, dan kemungkinan masih akan menyandang status mahasiswa dua tahun kedepan. Doain aja ya agar segera lulus. Aamiin..

Kuliah di Jerman ohne Ende?
Nope, insyaaAllah ada waktunya selesai...

hidup

Menikah

2:41 PM

Being 24 in this era you get lots of pressure. So, how am I doing in my middle 20s?

Di zaman sosial media seperti sekarang ini, kamu dapat mengetahui perkembangan kehidupan teman-teman atau bahkan orang yang kamu tidak kenal sama sekali dengan mudah. Sangat mudah. Mereka dengan bangganya mengunggah foto-foto yang menggambarkan kebahagian mereka pada momen-momen dalam hidupnya. Salah satunya adalah momen pernikahan.

Kebiasaan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain itu tidak baik. Tapi nyatanya gue sering melakukan ini. Ketika teman-teman gue satu persatu mengunggah foto-foto bahagia mereka yang menunjukkan bahwa mereka sudah melangkan ke step yang lebih jauh dalam kehidupan ini (Baca: menikah), there is always this question from me to myself: "Look at you, lo kemana aja Afifa?".

Menikah. Banyak definisi yang bisa menjabarkan kata tersebut. Ketika usia menginjak ke kepala dua. Hal yang satu ini selalu masuk perthitungan dalam menentukan milestone kedepan. Or at least I did that. Gue 24 tahun, ketika masih berumur 19 tahun berencana untuk menikah pada umur 23 tahun. Dan gue sadar bahwa target yang ini harus diundur untuk at least beberapa tahun.

Tapi apa sih sebenarnya menikah untuk seorang Afifa?

Menikah itu ibadah. Oleh karena itu, menikah tidak perlu menunggu lulus kuliah atau dapat pekerjaan tetap. Apakah kalian menunggu hingga lulus kuliah dulu baru berhijab, baru berpuasa? As simple as that. Mencari berkahnya Allah bareng seseorang yang kita sayang, how wonderful is that?

Selain itu, gue personally akan sangat senang jika punya teman yang bisa selalu ada untuk gue, mau itu senang atau sedih. Sebaik-baiknya sahabat kita, mereka juga punya kehidupan sendiri. Akan ada saatnya dimana dia ga bisa dengerin curhatan kita, karena dia memang sudah occupied dengan permasalahan hidupnya sendiri. Tapi beda halnya dengan partner hidup. Hidup dia adalah kita, termasuk gue di dalamnya. Merasa mempunyai tempat untuk pulang, dengan segala beban dan permasalahan hidup yang dapat dibagi. Mungkin rasa itu yang gue perlukan. Orang tua juga bisa menjadi tempat pulang, of course. Tapi beda, ketika kita bercerita dengan orang tua yang memiliki ekspektasi sendiri kepada kita sebagai anaknya. Dengan kita bercerita dengan pasangan hidup yang sama-sama mengarungi kehidupan ini, mereka akan lebih bisa relate dengan apapun yang kita keluhkan.

Gue sendiri masih bingung meyakinkan laki-laki di luar sana, bahwa menikah merupakan sebuah ibadah. Kalau memang kita sudah berniat beribadah, insyaaAllah rezeki akan datang. I know, that's their biggest concern. Economy. Mungkin asking for a hand of marriage is not as simple as that for them. As they have to be the imam (the head of family). But it's 2018. We, women, can work and finance our family too! We can work as a team to make a living. Karena buat gue, materi adalah hal yang the least gue pikirin. But, not to those men out there. "Mau makan apa nanti kita?" "Apa kata mama kamu kalau aku belum kerja?". I completely understand why they are thinking that way. It's a big responsibility for them.

Yang perlu dicatat adalah, memang itu kewajiban kalian sebagai kepala rumah tangga untuk menafkahi kami para wanita. Tapi kami bukan menikah untuk meminta makan, dibelikan barang ini-itu. Bukan sombong, tapi kita pun bisa usaha sendiri untuk itu, tidak perlu menikah. Yang kami perlukan adalah companion. Satu hal juga perlu digaris bawahi, kami menikah bukan untuk menjadi tukang masak, housekeeper dan babysitter. Ketika gue melakukan semua itu nanti, itu adalah bentuk kerja sama yang gue tawarkan dan bentuk sebuah pengabdian kepada imam dalam hidup gue. So don't get me wrong, bukannya tidak mau.

Last but not least, ketika kalian melihat ada yang sudah memiliki pasangan, tapi tak kunjung menikah, memang ada beberapa yang merasa belum siap, tapi ada juga yang sedang mengusahakan untuk ke tahap selanjutnya, dan tidak jarang dengan obstacle yang banyak dan rumit. Bukan tidak mau segera menikah.