Being 24 in this era you get lots of pressure. So, how am I doing in my middle 20s?
Di zaman sosial media seperti sekarang ini, kamu dapat mengetahui perkembangan kehidupan teman-teman atau bahkan orang yang kamu tidak kenal sama sekali dengan mudah. Sangat mudah. Mereka dengan bangganya mengunggah foto-foto yang menggambarkan kebahagian mereka pada momen-momen dalam hidupnya. Salah satunya adalah momen pernikahan.
Kebiasaan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain itu tidak baik. Tapi nyatanya gue sering melakukan ini. Ketika teman-teman gue satu persatu mengunggah foto-foto bahagia mereka yang menunjukkan bahwa mereka sudah melangkan ke step yang lebih jauh dalam kehidupan ini (Baca: menikah), there is always this question from me to myself: "Look at you, lo kemana aja Afifa?".
Menikah. Banyak definisi yang bisa menjabarkan kata tersebut. Ketika usia menginjak ke kepala dua. Hal yang satu ini selalu masuk perthitungan dalam menentukan milestone kedepan. Or at least I did that. Gue 24 tahun, ketika masih berumur 19 tahun berencana untuk menikah pada umur 23 tahun. Dan gue sadar bahwa target yang ini harus diundur untuk at least beberapa tahun.
Tapi apa sih sebenarnya menikah untuk seorang Afifa?
Menikah itu ibadah. Oleh karena itu, menikah tidak perlu menunggu lulus kuliah atau dapat pekerjaan tetap. Apakah kalian menunggu hingga lulus kuliah dulu baru berhijab, baru berpuasa? As simple as that. Mencari berkahnya Allah bareng seseorang yang kita sayang, how wonderful is that?
Selain itu, gue personally akan sangat senang jika punya teman yang bisa selalu ada untuk gue, mau itu senang atau sedih. Sebaik-baiknya sahabat kita, mereka juga punya kehidupan sendiri. Akan ada saatnya dimana dia ga bisa dengerin curhatan kita, karena dia memang sudah occupied dengan permasalahan hidupnya sendiri. Tapi beda halnya dengan partner hidup. Hidup dia adalah kita, termasuk gue di dalamnya. Merasa mempunyai tempat untuk pulang, dengan segala beban dan permasalahan hidup yang dapat dibagi. Mungkin rasa itu yang gue perlukan. Orang tua juga bisa menjadi tempat pulang, of course. Tapi beda, ketika kita bercerita dengan orang tua yang memiliki ekspektasi sendiri kepada kita sebagai anaknya. Dengan kita bercerita dengan pasangan hidup yang sama-sama mengarungi kehidupan ini, mereka akan lebih bisa relate dengan apapun yang kita keluhkan.
Gue sendiri masih bingung meyakinkan laki-laki di luar sana, bahwa menikah merupakan sebuah ibadah. Kalau memang kita sudah berniat beribadah, insyaaAllah rezeki akan datang. I know, that's their biggest concern. Economy. Mungkin asking for a hand of marriage is not as simple as that for them. As they have to be the imam (the head of family). But it's 2018. We, women, can work and finance our family too! We can work as a team to make a living. Karena buat gue, materi adalah hal yang the least gue pikirin. But, not to those men out there. "Mau makan apa nanti kita?" "Apa kata mama kamu kalau aku belum kerja?". I completely understand why they are thinking that way. It's a big responsibility for them.
Yang perlu dicatat adalah, memang itu kewajiban kalian sebagai kepala rumah tangga untuk menafkahi kami para wanita. Tapi kami bukan menikah untuk meminta makan, dibelikan barang ini-itu. Bukan sombong, tapi kita pun bisa usaha sendiri untuk itu, tidak perlu menikah. Yang kami perlukan adalah companion. Satu hal juga perlu digaris bawahi, kami menikah bukan untuk menjadi tukang masak, housekeeper dan babysitter. Ketika gue melakukan semua itu nanti, itu adalah bentuk kerja sama yang gue tawarkan dan bentuk sebuah pengabdian kepada imam dalam hidup gue. So don't get me wrong, bukannya tidak mau.
Last but not least, ketika kalian melihat ada yang sudah memiliki pasangan, tapi tak kunjung menikah, memang ada beberapa yang merasa belum siap, tapi ada juga yang sedang mengusahakan untuk ke tahap selanjutnya, dan tidak jarang dengan obstacle yang banyak dan rumit. Bukan tidak mau segera menikah.
Semester kedua, keadaan belum berubah. Masih pengen nangis.
Belajar ilmu sosial di Jerman itu subhanallah sekali loh. Berbeda dengan jurusan yang lain, jurusan ilmu sosial itu jarang ujian. Sebagai gantinya, kita harus submit essays mulai dari yang 3-5 halaman sampai yang 10-15 halaman. Selain itu kelas-kelas dipenuhi dengan diskusi dan tukar pikiran. At first, I thought that's really nice. I love discussion! apalagi membahas keadaan sosial dan pendidikan saat ini. Tapi ternyata, mengemukakan pendapat dengan bahasa lain (read: Jerman) itu susah.
Model belajar kita di kampus, bukan hanya mendengarkan dosen cerita di depan kelas. Tapi kita juga aktif mencari input dengan membaca teks wajib pemberian si dosen. Lalu setelah itu kita harus merangkum dan mendiskusikan isi teks tersebut di kelas.
Untuk memahami isi teks, alhamdulillahnya tidak ada masalah. Namun karena keterbatasan bahasa, cara kita menyampaikannya kembali yang tergolong sulit. Well, I believe mereka paham dengan apa yang gue utarakan. Tapi dari diri gue sendiri yang selalu ga puas. "What I want to say is more than that"," Mereka pasti ga nangkep sesuai dengan ekspektasi gue". And it's frustrating. Karena suara-suara itu, I choose to be silent. And I hate it.
Tapi nyatanya, berdamai dengan keresahan tidak mudah. Well, still here watching them disscusing lots of interesting things.
I hope I can cope with this problem soon, real soon. When I did, I will definitely tell you how.
Kadang apa yang terlihat pada kasat mata
selalu kita anggap sebagai fakta.
Faktanya dia bahagia.
Lihat saja senyumnya
yang selalu terukir,
dengar tawanya
yang selalu memenuhi ruangan
dan kata-katanya yang penuh makna.
Kesimpulannya, dia bahagia.
Tapi apakah benar dia bahagia?
Dibalik apa yang tampak,
kadang tersembunyi sejuta cerita,
seonggok luka dan secangkir derita.
Setiap satu dari sejuta itu dia ceritakan,
sambil menuangkan beberapa tetes ke onggokan.
Pedih, sakit jangan ditanya.
Tapi nyatanya
hidup harus tetap berjalan,
pedih itu pun harus ditelan.
Ini halal ga ya?
Topik halal atau tidak ini sangat dan selalu populer dibicarakan dimana-mana. Apalagi di sini, di belahan bumi barat yang muslim nya minoritas. Setiap kali mau beli makanan, ini halal ga ya?. Alhamdulillahnya di Jerman banyak toko Turki yang jual daging halal. Bukan hanya daging, tapi sosis, salami, keju bahkan snack-snack sampai permen-permen berlabel halal pun ada. Tapi, tidak semua ada di toko Turki. Beberapa kita harus beli di supermarket lokal. The best thing we can do, kalau produk nya emang cuma dijual di supermarket lokal adalah melihat ingredient/komposisi/zutaten si produk tersebut. Biasanya, kalau komposisi nya tidak mengandung E470 keatas, menggunakan Soy Lecithin dan tidak ada gelatin nya inshaallah itu aman untuk dimakan.
Malaysia adalah the best place in the world for Halal food. Especially Kuala Lumpur. Di KL atau tempat-tempat lain di Malaysia, Halal atau tidaknya sangat jelas. Bahkan dipasar-pasar pun, si penjual ayam atau daging memiliki sertifikat Halal yang jelas. Kalau di Malaysia yang mengeluarkan label halal adalah JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia). Di Malaysia, Halal atau tidak nya sebuah produk, restaurant atau coffee shop itu sangat jelas. Setiap restaurant/coffee shop, mereka diwajibkan memasang sertifikat halalnya. Selain itu, jika sebuah restaurant memang menjual pork atau menggunakan lard mereka akan memberi sign bertuliskan non-halal di restaurant mereka. That is why it is easy to see apakah restaurant ini halal atau tidak. Dan untuk mendapatkan sertifikat halal dari JAKIM itu tidak mudah, karna prosedur nya sangat detail. Sekali ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan term of Halal di Islam, mereka tidak akan mendapatkan sertifikat halal tersebut. Jadi sertifikat halal JAKIM itu sangat terpercaya. That is why Malaysia is the safest place to eat.
Lalu bagaimana Indonesia?
Indonesia justru harus dipertanyakan makanan nya. Selama ini kita menganggap bahwa mayoritas makanan di Indonesia adalah halal. Padahal belum tentu, bahkan di pasar pun kita tidak tahu apakah ayam potongan itu disembelih sesuai dengan ajaran islam. Di restoran juga kita menerapkan asumsi yang sama, We believe that the restaurant is halal even they do not have any certificate. Ironisnya, Indonesia adalah negera dengan jumlah penduduk muslim terbesar didunia. Tapi kenapa kehalalan sebuah produk masih tidak jelas? Berasumsi bahwa semua daging di Indonesia adalah halal karena mayoritasnya penduduk Indonesia adalah muslim itu tidak salah. Tapi alangkah baiknya jika setiap restaurant atau slaughter house punya sertifikat halal. Tidak ada ruginya, inshaallah lebih berkah dan untung. Konsumen pun akan lebih tenang dalam berbelanja.
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS 2:168)